Selasa, 04 Juni 2013

Makalah hak-hak Sipil dan Politik

MAKALAH PENDIDIKAN HAM
INTERNATIONAL CONVENANT CIVIL and POLITICAL RIGHT
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Indra Nuansa Halomoan Silaban
3123311022
Ekstensi A 2012




PENDIDIKAN PANCASILA dan KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN



ICCPR (International Convenant and Political Rights) Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)  pada tanggal 16 Desember 1966. Yang terdiri dari Mukadimah dan terbagi atas VI Bagian yang terdiri dari 55 pasal. Mukadimah berisikan pengakuan dari negara-negara pihak konvenan ICCPR akan hak asasi manusia yang universal sebagaimana diamanatkan dalam Piagam PBB. Bagian I terdiri dari pasal 1 yang menjelaskan hak-hak suatu negara akan kewenangannya dalam menentukan nasib sendiri. Bagian II terdiri dari pasal 2 hingga pasal 5 yang menjelaskan pengakuan dan penjaminan hak-hak sipil dan politik yang dilakukan oleh negara-negara pihak konvenan. Bagian III terdiri dari pasal 6 hingga pasal 27 yang menjelaskan hak-hak yang dimiliki setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dari konvenan ini yang harus dilindungi oleh negara. Bagian IV terdiri dari pasal 28 hingga pasal 45 yang menjelaskan bentuk komite yang akan melaksanakan hak sipil dan politik, kewenangan dan  sistem pemerintahn dikomite ICCPR. Bagian V terdiri dari pasal 46 hingga pasal 49 yang menjelaskan kedudukan ketentuan dalam ICCPR. Bagian VI terdiri dari pasal 50 hingga pasal 55 menjelaskan ratifikasi, aksesi dan sistem perubahan ICCPR oleh negara pihak konvenan.
International Covenant Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi Indonesia pada 30 September 2005 dan mengesahkan ICCPR menjadi UU  No. 12/2005 pada tanggal 28 Oktober 2005. Dengan pengesahan ini Indonesia telah mengikat ICCPR menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hakhak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundangundangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hakhak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan.
Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Di dalam perlindungannya peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik merupakan Negative Right (hak dan kebebasan akan terjamin dan terpenuhi apabila peran negara dibatasi).
Namun perbedaan antara hak sipil dan politik yaitu hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia sedangkan hak politik ialah hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun. Hak Sipil dan Politik berkarateristik sebagai berikut:
·         Negara bersifat pasif
·         Dapat diajukan ke pengadilan
·         Tidak bergantung pada sumber daya
·         Non-ideologis
Dalam hakhak sipil dan politik, ada batas antara hakhak yang tak dapat ditangguhkan dengan hakhak yang dapat ditangguhkan. Yang termasuk dalam kategori hakhak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive), hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. 
Untuk memenuhi hak sipil dan politik ini terhadap warga negara indonesia, negara Indonesia telah memberikan instrumen HAM yang mengaturnya, antara lain:
  •  UUD 1945 (Pasal 28 )
  • Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia
  • Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
  • Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
  • Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
  • UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 9-Pasal 35)
  • UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahaan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
  •   Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak
  •   Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB.

Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hakhak setiap orang, terutama hakhak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hakhak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hakhak atau kebebasan berdasarkan UU, kedua dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hakhak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hakhak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campurtangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hakhak – melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apaapa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial).
Bebrapa hal telah dilakukan Indonesia demi menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak-hak sipil dan politik indonesia, antara lain:
  •  Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi tentang Hak Sipol
  •  Amandemen UUDasar 1945 dengan memasukan BAB yang mengatur HAM
  •  Harmonisasi berbagai Peraturan Perundang-undangan
  •  Melakukan  Sosialisasi di seluruh wilayah Republik Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil   dan Politik
  • Pembntkan Komnas HAM, Komnas Perlindungan anak  & Komnas Perempuan
  • Pembentukan Kemneg Urusan HAM yang menangani masalah HAM yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
  • Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM Ad Hock
  • Pembentukan RAN-HAM 2004-2009 , yang berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Namun dilain sisi terdapat banyak hal yang belum dilakukan Indonesia dalam pemenuhan hak ini. Hingga saat ini masih sering dijumpai aparat penegak hukum harus bekerja dengan infrastruktur pendukung hukum yang minim. Ini adalah sebuah tantangan, Penjara dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, peraturan perundangundangan tidak tersedia bagi para hakim dan banyak lagi persoalan lainnya. Kebiasaan pemerintah tanpa menyediakan infrastruktur pendukung atas langkahlangkah implementasi hasil ratifikasi berbagai perjanjian hakhak manusia dapat dipandang sebagai sikap tak mau (unwilling) atau abai untuk berbuat sesuatu, termasuk bagaimana seharusnya semua aparatur berperilaku yang dipertalikan dengan ICCPR tanpa kecuali pada lembagalembaga peradilan dan pengadilan, sehingga terasa kurang berefek pada pelaksanaannya.
Dengan telah diratifikasinya ICCPR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hakhak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB.kewajiban yang harus dipenuhi berupa penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak sipil dan politik baai masyarakat Indonesia yaitu:
PENGHORMATAN
(menjamin tidak ada gangguan dalam pelaksanaan hak)
PERLINDUNGAN
(mencegah pelanggaran oleh pihak ke tiga)
PEMENUHAN (penyediaan sumberdaya dan hasilhasil kebijakan)
Pemerintah berkewajiban membuat UU untuk melindungi dan menjamin hak setiap warganegara, meratifikasi kovenan internasional, melakukan harmonisasi hukum (UU, PP, Keppres, Permen, Perpres hingga Perda) agar tidak terjadi penggunaan hukum untuk penyiksaan, pembunuhan tanpa pengadilan, penghilangan paksa, penahanan sewenangwenang, pengadilan yang tidak adil, intimidasi pada saat pemilihan umum, pencabutan hak pilih, dll
Pemerintah harus mengupayakan tindakan untuk mencegah pelaku nonnegara melakukan pelanggaran seperti penyiksaan, kekerasan dan intimidasi kepada setiap warganegara
Pemerintah harus melakukan investasi , mengalokasikan anggaran, dan memberikan subsidi dalam bidang kehakiman, penjara, kepolisian, tenaga medis, serta alokasi sumberdaya dan anggaran pendidikan buat petugas agar memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mrlaksanakan pemenuhan hak sipilpolitik setiap warganegara

Walaupun negara bersifat pasif dalam menangani hak sipil dan politik dan ada beberapa hal yang dapat dilakukan negara untuk mengintervensi hak sipil dan politik masyarakat atau dapat dikatakan pengecualian hak sipil dan politik masyarakat. Pengecualian itu antara lain:
  •        Kondisi  darurat yang mengancam kehidupan dan eksistensi  bangsa  yang secara resmi di tetapkan.
  •  —     Memenuhi asas proporsionalitas dan non diskriminasi.
  •              Berdasarkan aturan yang jelas.
  •       Tidak terhadap non derogable right.
  •     Harus segera memberitahukan kepada Negara-negara pihak lainnya melaui perantaraan sekretaris jenderal perserikatan bangsa-bangsa mengenai ketentuan yang di kurangi  dan mengenai alas an-alasan pemberlakuannya.

Senin, 03 Juni 2013

Makalah Panjang SPI Dimensi Kapabilitas Regulatif Orde Baru

DIMENSI KAPABILITAS REGULATIF ERA ORDE BARU
Oleh Kelompok II Ekstensi A

ABSTRAK

Setiap peraturan itu disusun dan di terapkan kedalam masyarakat untuk mensejahterahkan seluruh lapisan masyarakat. Peraturan ataupun regulasi tersebut disusun melalui proses hingga ditetapkan sebagai undang-undang. Undang-undang atau peraturan diterapkan di masyarakat dan para alat-alat negara memantau bagaimana efektifitas undang-undang tersebut. Akan tetapi, peraturan yang dibuat dalam undang-undang sering tidak bisa sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari frekuensi pelanggaran yang terjadi akan undang-undang pada masa ini. Bukan hanya masyarakat saja yang melanggarnya. Bahkan para pejabat pemerintah yang ikut berperan dalam pembuatan dan pelaksana peraturan (UU) ikut melakukan pelanggaran akan peraturan. Pelanggaran tersebut banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat hingga terjadi konflik di tengah-tengah masyarakat. Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.


Kata kunci : Jumlah regulasi yang ada, efektifitasnya, frekuensi pelanggaran dan konflik.








I. PENDAHULUAN

Pemahaman kehidupan politik pada saat ini  tidak terlepas dari sistem politik yang Orde Baru yang desposit dan otoririter (Winarno, 2007 : xiii). Orde Baru itu sendiri secara resmi di defenisikan sebagai “ tatanan kehidupan negara dan bangsa yang di letakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian pancasila dan UUD 1945”. Masyarakat Orde Baru adalah masyarakat Indonesia yang bertekat melaksanakan pancasila dan UUD 1945 seaca murni dan konsekuen. Tujuan Orde Baru adalah menciptakan kehidupan politik, ekonomi, dan kultural yang di jiwai oleh moral pancasila, khususnya sila ketuhanan yang maha esa.
Orde Baru menginginkan suatu tata susunan yang lebih stabil berdasarkan lembaga-lembaga (institusional misalnya MPRS, DPR, Kabinet dan musyawarah) dan yang kurang di pengaruhi oleh oknum-oknum yang dapat menimbulkan kultus individu. Akan tetapi, orde baru tidak menolak pimpinan yang kuat dan pemerintahan yang kuat malah mengkehendaki ciri-ciri yang demikian dalam masa pembangunan (Mahfud, 1998 : 200).
Orde baru mengkehendaki suatu tata politik dan ekonomi yang berlandaskan pancasila, UUD 1945 dan yang mempunyai prinsip idiil, operasional dalam ketetapan MPRS IV/1966.Orde baru adalah suatu tata politik dan ekonomi yang belum mempunyai kenyataan, yang ada baru suatu iklim yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan Orde Baru ini (Mahfud, 1998 : 201).
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 (Praptanto, 2010 : 3)  memberikan wewenang penuh kepada Mayjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dinilai penting untuk menjaga kestabilan keamanan dan ketenangan social guna memperlancar jalanya revolusi. Soeharto membentuk kabinet Ampera yang diresmikan pada 28 Juli 1966. Seluruh program kerja kabinet Ampera terdapat dalam catur karya, dengan prinsip dwi dharma. Politik Indonesia makin memanas dengan tidak disetujuinya pidato pertanggungjawaban Soekarno oleh Majelis Sidang Umum MPRS. Pidato pertanggungjawaban  yang dikenal dengan nama Nawaksara itu dinilai tidak lengkap karena tidak menceritakan peristiwa G30S/PKI dan akibat-akibatnya secara detail. Lalu, pada 22 Oktober 1966, MPRS mengirim nota kepada Presiden Soekarno agar beliau merevisi dan melengkapi pertanggungjawabanya. Pidato hasil revisi itu kemudian diberi nama Pelengkap Nawaksara (Pel Nawaksara). Akan tetapi, Pelengkap Nawaksara itu justru membuat situasi politik bangsa menjadi semakin tegang. Ada beberapa organisasi massa dan unsur pemerintah yang menolak Pelengkap Nawaksara.
Sementara itu pihak ABRI melakukan pendekatan secara personal dengan Presiden Soekarno. Mereka membujuk agar Presiden Soekarno melakukan penyerahan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Mayjen Soeharto menerima surat Presiden Soekarno, di surat ini, dilampirkan surat penegasan untuk menangani masalah sehari-hari kepada pemegang surat perintah 11 Maret 1966 (Praptanto, 2010 : 1). Mayjen Soeharto membuat sebuah rancangan konsep yang akan di pakai untuk mempermudah proses penyelesaian krisis politik, konsep itu berisi pernyataan bahwa Presiden Soekarno berhalangan memimpin pemerintahan dan menyerahkan tanggungjawab kekuasaan pemerintahan kepada pemegang mandat Surat Perintah 11 Maret 1966, yakni Mayjen Soeharto. Konsep ini diajukan kepada Presiden Soekarno pada 11 Februari 1967. Ternyata, Presiden soekarno tidak menyetujui rancangan kosep itu beliau keberatan dengan istilah  “berhalangan”. Tapi pada akhirnya presiden Soekarno menyetujuinya dengan melakukan perubahan-perubahan kecil, seperti pada pasal 3 yang ditambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi . Hari Rabu sore tanggal 22 Februari 1967, Soeharto memanggil para menteri kabinet Ampera ke kantor Presidium Kabinet. Tepat pada pukul 19.30 WIB, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya sebagai Presiden (Praptanto, 2010 : 3). Presiden secara resmi menyerahkan jabatan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto. Momentum itulah yang menandakan awalnya masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Diangkatnya Mayjen Soeharto Menjadi Presiden Republik Indonesia
Melalui ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, pada 12 Maret 1967, MPRS yang diketuai oleh A.H. Nasution menvabut seluruh mandat atas seluruh kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Pada 27 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), mengangkat Letjen Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (Praptanto, 2010 : 3). Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian (http://blogger//model-kepemimpinan-6-presieden-terakhir.html).
Kemudian Presiden Soeharto membentuk kabinet Ampera. Program kerja dari Kabinet Ampera tercermin dalam Catur Karya, atau empat program. Program-program tersebut adalah :
  1. Memperbaiki perikehidupan rakyat, terutama dalam bidang sandang dan pangan;
  2. Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966;
  3. Melaksanaka politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966, dan;
  4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya(http://24bit.wordpress.com/2010/03/30/perkembangan-bidang-politik-pada-masa-orde-baru/).
Pemerintahan Orde Baru segera menyusun rencana untuk mempercepat lancarnya kinerja Kabinet Ampera. Rencana tersebut adalah :
1.             Mewujudkan kehidupan politik yang lebih baik.
2.        Kehidupan ekonomi segera distabilkan dan direhabilitasi.
3.        Menyusun dan melaksanakan rancana pembangunan.
Dalam bidang politik, salah satu langkah yang dilakukan oleh Soeharto adalah melakukan fusi partai politik. Praktik tersebut dilakukan pada tahun 1975, dengan berdasar pada UU No. 3 tahun 1975. Fusi tersebut menghasilkan Kelompok Demokrasi Pembangunan, Kelompok Persatuan Pembangunan, dan Kelompok Golongan Karya.

Menguatnya Peran Negara Pada Masa Orde Baru dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial-Politik Masyarakat
Pada pemerintahan Orde Baru struktur,kinerja dan peran negara menjadi sangat kuat karena didukung oleh pemusatan dan penguatan 3 sektor utama,yaitu sektor militer,ekonomi dan budaya. Menurut pak Harto penguatan negara merupakan langkah yang jitu dalam mendukung kelancaran pembangunan, adapun cara yang dilakukan meliputi :
1.        Penguatan sektor militer, dilakukan dengan cara memperbaiki kinerja 'Angkatan Darat'. Latar Belakang karir pak Harto sebagai Mayor Jenderal membuat beliau mendapat dukungan dari basis militer yang cukup kuat.
2.        Penguatan sektor ekonomi, dilakukan dengan cara menambah jumlah dana bantuan luar negeri, karena sistem ekonomi gagas adalah ekonomi liberal maka mendapat dukungan dari dunia internasional.
3.        Penguatan sektor budaya dilakukan dengan cara menyebarkan organisasi-organisasi membantu GolKar ke pelosok. Hal ini sangat membantu karena GolKar yang sejak tahun 1964 sudah muncul itu memiliki posisi yang sangat penting. Pada waktu itu tidak boleh ada organisasi masyarakat selain yang bernaung dibawah organisasi GolKar.
Dampak menguatnya peran negara dimasa Orde Baru adalah terjadi penggabungan partai-partai politik dalam 3 organisasi berikut :
1.        PDI gabungan dari PNI, PARKINDO, P Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
2.        PPP, gabungan dari NU, Partai Muslim Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia.
Partai Golkar, gabungan dari berbagai organisasi profesi, seperti Organisasi Buruh, Organisasi Pemuda, Organisasi Petani dan Nelayan, Organisasi Seniman, dan Organisasi Masyarakat (http://blogger //sejarah-orde-baru-dan-orde-reformasi.html)

Sebelum terjadinya fusi partai-partai tersebut, Golkar sudah memperoleh kemenangan mutlak pada Pemilu 1971 dengan perolehan 236 suara dikursi DPR (Praptanto, 2010 : 10). Kemenangan itu menghasilkan 2 hal utama :
1.        Adanya monoloyalitas PNS yang menjadi penyumbang suara terbesar pada waktu itu, semua PNS harus memilih Golkar (Praptanto, 2010 : 12).
2.        Kekuatan Golkar telah mengakar kuat dihati masyarakat karena Sekber Golkar bersama militer dan masyarakat berhasil menumpas PKI diawal 1960-an.
Menguatnya posisi Golkar di masa pemerintahan Orde Baru menunjukkan kuatnya peran pemerintah dalam menentukan perkembangan kehidupan masyarakat. Seiring dengan itu, Pancasila menjadi satu-satunya asas yang boleh digunakan oleh seluruh pergerakan nasional baik dalam parpol, gerakan mahasiswa maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Segala jenis pergerakan nasional tidak boleh melenceng dari garis-garis besar Pancasila. Prinsip itu di politisir bahwa tidak boleh ada bentuk kegiatan lain selain yang berada dibawah kekuasaan organisasi Golkar. Dan kepemimpinan dalam Golkar sendiri terpusat pada figur Soeharto.
Kericuhan dalam pembahasan RUU-RUU lagi yang mengantarkan penundaan pemilu (yang seharusnya di selenggarakan 1968) itu di sertai emaskulasi yang sistematis terhadap partai-partai kuat yang akan bertarung dalam pemilu. Pengebiriaan sejalan dengan sikap ABRI yang menyetujui penyelenggaraan pemilu, tetapi dengan jaminan bahwa : “Kekuatan Orde Baru harus menang”. Artinya, karena secara konstitusional pwmerintah tak bisa mengelak, maka pemilu harus tetap di laksanakan tetapi kekuatan orde baru harus menang. Kekuatan orde baru disini lebih di identikkan sebagai pemerintah dan ABRI serta Golkar. Sebenarnya partai-partai yang ada pada waktu itu berhak juga disebut sebagai kekuatan orde baru karena mereka juga ikut mengembangkan orde lama. Karena itu, di samping menggarap UU pemilu yang dapat memberikan jaminan atas dominasi kekuatan pemerintah, maka partai-partai yang di perhitungkan mendapat dukungan dari pemilih mulai di lemahkan (Mahfud, 1998 :218-219). Pada pemilu 1971 Golkar tampil sebagai pemnang mayoritas mutlak dengan meraih 62,8 % suara mekipun semula hanya mematok target 35%-40%. Setelah format politik yang di design melalui UU No. 15 dan 16 tahun 1969, maka kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 telah memantapkan dominasi pemerintah atas semua spectrum dan proses politik di Indonesia. Dan sejak itu pula langgam otoriter pemerintah Orde baru semakin menegaskan dirinya. Alfian menulis bahwa “ semenjak tu kita melihat terjadinya proses pertumbuhan sebuah kekuasaan eksekutif yang kuat di bawah pimpinan soeharto sendiri bersamaan dengn proses pengukuhan posisi militer beserta Golkar” (Mahfud, 1998 : 222-223).

Menguatnya peran negara di masa Orde Baru juga tidak terlepas dari strategi agresi yang diterapkan oleh Soeharto. Salah satu strateginy adalah sistem reward and punishment, yakni pemberian hadiah bagi orang-orang yang pro terhadap pak Harto dan hukuman bagi pihak-pihak yang kontra terhadap pak Harto. Sekurang-kurangnya terdapat 4 sumber-sumber yang menjadi penopang Kekuasaan Orde Baru yakni :
1.        Represi Politik. Sejak Orde Baru melakukan konsolidasi politik pada awal 1970-an, tindakan kekerasan dan represif merupakan instrumen utama yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas politik.
2.        Klienteisme Ekonomi. Dengan sumber inilah Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan elit dan masyarakat luas.
3.        Wacana Partikularistik. Orde Baru mengembangkan banyak wacana partikularistik  yang di orientasikan untuk memaparkan orde baru.
4.        Korporotisme negara. Korporotisme negara dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diarahkan sebagai mobilisasi massa (Winarno, 2007 : 35-36).
Pemerintah  Orde Baru banyak melakukan langkah politik penertipan untuk menjaga  kestabilan pemerintahannya. Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari pada 15 Januari 1974 mengungkap reaksi mahasiswa dan masyarakat terhadap langkah politik penertipan tersebut (Praptanto, 2010 : 15). Pada Peristiwa Malari tersebut, 3 orang mahasiswa ditangkap oleh aparat dan diadili pada 2 Agustus 1947. Mereka adalah Hariman Siregar, Sjahrir, dan Muhammad Aini Chalid. 

Selain itu, semua jenis kegiatan yang beraroma KKN, sebenarnya sudah terlihat sejak  1971seperti pada kasus Taman Mini yang berbau pelanggaran HAM dan kasus Pertamina pada tahun 1974-1975. Sejak itu hampir di seluruh  bidang bisnis ditemukan penyimpangan, baik fasilitas maupun kewenangan dan monopoli. Misalnya, adanya kewajiban  suatu instansi Pemerintah untuk membeli “produk” swasta tertentu; munculnya fenomena saham kosong sebagai imbalan(succes fee), seperti dalam bisnis pipa gas, media massa, perbankan dan peti kemas. Sebagai contoh konkret, dari 138 perusahaan swasta yang menjadi rekanan Pertamina, diindikasikan 126 (90%) beraroma KKN milik keluarga Soeharto (Praptanto, 2010 : 67).

Dari peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru tersebut, sangatlah banyak penyimpangan dari peraturan-peraturan yang telah di buat. Jadi yang akan di jelaskan dalam pembahasan adalah Jumlah regulasi yang ada, efektifitasnya, frekuensi pelanggaran dan konflik pada era Orde Baru.










II. PEMBAHASAN

Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal ini dipengaruhi oleh elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah dalam perpolitikan di suatu negara. Pengaruh sistem politik negara lain juga turut memberi kontribusi pada pembentukan sistem politik disuatu negara. Seperti halnya sistem politik di Indonesia, seiring dengan waktu, sistem politik di Indonesia selalu mengalami perubahan. Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas. Hal ini sesuai dengan lingkungan sistem politik yang hidup dalam suatu lingkungan bersama-saa dengan soistem-sistem lainnya dan mengadakan hubungan saling mempengaruhi diantara sistem tersebut (Halking, 2013 : 31). Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Kehidupan politik yang dilihat sebuah sistem dari suatu kegiatan dimana kegiatan tersebut saling berhubungan untuk menerapkan asumsi implisit kesaling hubungan bagian-bagian tersebut sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan suatu penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan. Suatu sistem politik tidak hidup dalam suatu ruang hampa dan senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat dibedakan menjadi lingkungan domestik dan internasional. Salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti organisme atau individu.
Pemahaman tentang struktur dan budaya politik memegang peran penting dalam memahami kerangka kerja sistem politik. Sistem politik memerlukan badan-badan atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Dalam suatu sistem politik, biasanya, terdapat fungsi yang hampir selalu ada, fungsi tersebut adalah kapabilitas atau kemampuan system politik. Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kemampuan regulatif menunjukkan kemampuan dari sistem politik dalam hal mengontrol atau mengendalikan perilaku individu-individu atau kelompok yang berada dalam sistem politik itu. Kemampuan ini dapat di lihat dari frekuensi dan intensitas kontrol yang dilakukan oleh sistem politik itu sendiri. Kemampuan regulatif mempersoalkan bagaimana menempatkan kekuasaan yang absah (pemerintah) untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lain yang ada di dalamnya,semua merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur dan mengendalikan (Rahman 2012 : 17)
Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional (http://24bit.wordpress.com/2011/05/16/kehidupan-politik-yang-membosankan-363313.html/). Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik.

Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa
dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
PENDEKATAN DALAM ANALISIS SISTEM POLITIK
Analisis Sistem Politik Menurut David Easton
Kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan maka timbul beberapa konsekuensi dalam hal cara yang dapat kita gunakan untuk menganalisa berjalannya suatu sistem. Idea utama tentang suatu sistem bahwa kita dapat menyatakan bahwa kita dapat memisahkan dari kehidupan politik dan kehidupan sosial lainnya, paling tidak demi tujuan analisa dan melihatnya seolah-olah sebagai suatu kumpulan tersendiri yang dikelilingi, tetapi dapat di bedakan dari lingkungan ia bekerja. Apabila kita berpegang terhadap anggapan bahwa sistem tingkah laku politik suatu unit tersendiri, maka terlihat bahwa yang menjamin terus bekerjanya sistem itu adalah berbagai macam input. Input-input ini di ubah oleh proses-proses yang terjadi dalam proses yang terjadi dalam sistem itu menjadi output dan selanjutnya output ini menimbulkan pengaruh terhadap sistem itu sendiri maupun terhadap lingkungan dimana sistem itu berada. Rumusan ini sangat sederhana tetapi juga cukup memadai untuk mejelaskan berbagai hal : input-sistem atau proses politik-output (Mas’oed, 2001 : 4-5).
Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang lain. Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.
Input, Output, dan Lingkungan dalam Sistem Politik
Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.
Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik. Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.
Politik Birokratis
Karl D. Jackson menyebut karakteristik politik orde baru yang menempatkan negara pada posisi sangat dominan sebagai bureaucraeic polity (politik birokratis). Dalam model ini, kekuasaan dan partisipasi politik dalam pembuatan keputsan terbatas pada para penguasa terutama pada para perwira militer dan pejabat tinggi brokrasi. Rezim penguasa tunggal yang dipegang satu orang karena legitimasi tradisional, dalam politik birokratis keputusan-keputusan yang harus di dukung oleh minimal consensus di kalanan elit militer dan birokrasi. Model ini juga berbeda dari pemerintah militer karena gaya dan tujuan dasar pemerintah lebih bersifat birokratik dan teknokratik daripada militeristik. Model ini bisa dipahami untuk menerangkan Orde Baru, terutama dalam kaitannya dengan terciptanya stabilitas politik. Ada 3 ciri utama dari polititk birokratis yaitu: pertama, lembaga politik didominasi oleh birokrasi. Kedua, lembaga politik lain seperti parlemen, parpol, dan interest group berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuasaan birokrasi. Tiga, massa diluar birokrasi secara politik adalah pasif. Dalam poitik birokratis (bureacratism,bureaucratic polity) birokrasi lebih prevalen daripada kekuatan-kekuatan non birokrasi. Atau birokrasi lebih cenderung kurang sensitive terhadap rangsangan-rangsangan determinan non birokratik dari perilaku non brokrasi. Para pengamat banyak mengategorikan sistem pemerintahan di Indonesia sebagai bureaucratic polity, dalam arti birokrasi terlalu kuat untuk dapat menerima kontrol sosial dari kekuatan-kekuatan non birokrasi.Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan,di hadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik yang modern yang di dukung oleh birokrasi sebagai kekuatan utama.Dengan dihadapkan pada masalah pembinaan karakter bangsa dan negara,usaha membangun dan membina sistem politik termasuk birokrasi menjadi terbengkalai (Rahman 2002 : 135). Jackson mengatakan suasana politik dalam bureaucratic polity bersifat menentukan diri dan otonomi vis-à-vis lingkungan domestik. Tulisnya tentang ini: “ seperti kepulauan yang terpisah dari lautan sosial disekitarnya, politik birokratis sulit ditembus oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat mereka sendiri dan mungkin lebih responsif terhadap tekanan-tekanan yang berasal dari arena internasional”.
Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan (http://24bit.wordpress.com/2010/12/07/Sistem-politik-indonesia/). Rezim orde baru ini secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin kelangsungan kekuasaannya. Bagaimana tidak pada masa rezim ini kolusi, korupsi dan nepotisme berkecambuk di tubuh pemerintah. Rezim orde baru telah menjadikan hukum sebagai baju besi untuk mempertahankan kekuasaannya, melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Undang-undang Dasar sebagai dasar penegakan hukum di negara ini dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun lamanya. Seperti yang diketahui tidak spesifiknya isi dari pasal-pasal pada UUD telah menimbulkan multitafsir, dengan sigapnya rezim orde baru berpayung dibawah kemultitafsiran itu. Pada masa orde baru yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warga negaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim demi kekokohan dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti keadilan dan anti HAM (http://24bit.wordpress.com/2012/02/07/perkembangan-dan-persoalan-rule-of-law-dalam-segala-bidang-(rule-of-law-indonesia)/).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Perlu kita ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru “membekukan” pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
Jumlah regulasi ataupun peraturan  yang di terapkan pada masyarakat sangatlah banyak. Peraturan-peraturan terebut diharapkan dapat menciptakan kepuasan dan mencapai titik kesejahteraan masyarakat sesuai dengan visi misi Orde Baru tersebut. Hal ini ditunjukkan banyaknya Undang-undang yang di berlakukan di dalam masyarakat. Akan tetapi efektifitas regulasi tersebut mengalami kelemahan. Hal ini di akibatkan banyaknya frekuensi pelanggaran yang terjadi pada saat itu. Frekuensi pelanggaran terebut menjadi alasan menjadi penopang pada masa Orde Baru yang di gunakan oleh Soeharto yakni Represi Politik. Selain itu, moral hazard, yaitu persoalan birokrasi pemerintahan yang di kuasai Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme juga sangat merajalela pada masa ini. Bagaikan jamur yang hidup pada masa penghujan.
Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa pemerintahan order baru. Pelanggaran tersebut antara lain:
Tahun
Pelanggaran HAM yang Terjadi
1965

  • Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.
  • Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966

  • Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
  • Dr. Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
  • Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967

  • Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
  • April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .
  • Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969

  • Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .
  • Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
  • Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
  • Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970

  • Pelarangan demo mahasiswa.
  • Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
  • Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
  • Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971

  • Usaha peleburan partai- partai.
  • Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
  • Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
  • Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972
  • Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
  • Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .
1974
  • Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
  • Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
  • Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
  • Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977

  • Tuduhan subversi terhadap Suwito.
  • Kasus tanah Siria- ria.
  • Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
  • Kasus subversi komando Jihad.
1978
  • Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
  • Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
  • Pembredelan tujuh surat kabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peristiwa di atas.
1980
  • Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang , Pekalongan dan Kudus.
  • Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri
1981
  • Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
  • Kasus Tanah Rawa Bilal.
  • Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
  • Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
  • Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
  • Pelanggaran gencatan senjata di tim- tim oleh ABRI.
1984

  • Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
  • Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
  • Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
  • Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
1985

  • Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986

  • Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
  • Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
  • Kasus subversi terhadap Sanusi.
  • Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI
1989

  • Kasus tanah Kedung Ombo.
  • Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
  • Kasus tanah Kemayoran.
  • Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari.
  • Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
  • Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991

·      Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal
1992

  • Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.
  • Penangkapan Xanana Gusmao.
1993

  • Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
1994

  • Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
1995

  • Kasus Tanah Koja.
  • Kerusuhan di Flores
1996

  • Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus tanah Balongan.
  • Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
  • Sengketa tanah Manis Mata.
  • Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
  • Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.
  • Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
  • Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
  • Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997

  • Kasus tanah Kemayoran.
  • Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998

  • Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
  • Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari sebelum kerusuhan Mei.3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I (http://blogger //Pelaksanaan Hukum Dan Pelanggaran HAM Pada Masa Orde Baru _ The Rainaissance.html).

III. PENUTUP


A. Kesimpulan
Kapabilitas regulatif pemerintah selama masa Orde Baru ditunjukkan dengan pembentukan aparat/lembaga yang bertugas menjaga stabilitas seperti Bakin, Kopkamtib, Opsus dan Dirjensospol. Selain itu, juga dikeluarkan kebijakan depolitisasi, pengebirian dan restrukturisasi partai-partai politik sehingga tercipta the hegemonic party system. Secara material penyaluran tuntutan lebih banyak dikendalikan oleh koalisi besar ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) yang pada hakikatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah mengenal teknologi modern. Penyaluran tuntutan/input sebagai bagian dari partisipasi politik dilakukan dengan gaya pragmatis dengan menggunakan kemampuan perlindungan militer. Partisipasi politik hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa politik tertentu, seperti pemilu. Hal ini karena diberlakukannya konsep massa mengambang. Partisipasi politik rakyat dalam keanggotaan kekuatan sosial politik pada periode ini lebih diarahkan ke pembentukan kelompok-kelompok profesional.
Jumlah regulasi ataupun peraturan  yang di terapkan pada masyarakat sangatlah banyak. Peraturan-peraturan terebut diharapkan dapat menciptakan kepuasan dan mencapai titik kesejahteraan masyarakat sesuai dengan visi misi Orde Baru tersebut. Hal ini ditunjukkan banyaknya Undang-undang yang di berlakukan di dalam masyarakat. Akan tetapi efektifitas regulasi tersebut mengalami kelemahan. Hal ini di akibatkan banyaknya frekuensi pelanggaran yang terjadi pada saat itu. Frekuensi pelanggaran terebut menjadi alasan menjadi penopang pada masa Orde Baru yang di gunakan oleh Soeharto yakni Represi Politik. Selain itu, moral hazard, yaitu persoalan birokrasi pemerintahan yang di kuasai Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme juga sangat merajalela pada masa ini. Bagaikan jamur yang hidup pada masa penghujan.
Pembangunan lima tahun merupakan (Rule of Law) pada tahun 1969 merujuk kepada paragraph Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat. Proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif. Dengan kombinasi dari keduannya dengan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas secara selektif pada hukum yang tidak menjamah tanah kehidupan budaya dan spiritual rakyat, yang menjadi program Badan Pembinaan Hukum Nasional.

B. Saran
Dari pembahasan dalam artikel ini kita telah mengetahui hal baik dan hal buruk sistem politik Indonesia pada saat Era Orde Baru. Sistem Politik Indonesia pada saat ini sebaiknya mengikuti hal positif yang dapat di kembangkan untuk memajukan stabilitas ataupun sistem politik Indonesia dan jangan meninggalkan tradisi-tradisi buruk yang terjadi pada masa Orde Baru tersebut seperti KKN, Pelanggaran HAM dan sebagainya yang dapat merugikan dan menyengsarakan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA


Halking, dan Budi Ali Mukmin. 2013. Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia. Medan : Universitas Negeri Medan.
Mas’oed, Mohtar. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
MD, Mahfud. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
Praptanto, Eko. 2010. Sejarah Indonesia Zaman Orde Baru. Jakarta : PT Bina Sumber Daya MIPA.
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta : Media Pressindo.
Rahman, Arifin. 2012. Sistem Politik Indonesia. Surabaya : Penerbit SIC.

Alamat Web

http://blogger //sejarah-orde-baru-dan-orde-reformasi.html
http://blogger //Pelaksanaan Hukum Dan Pelanggaran HAM Pada Masa Orde Baru _ The Rainaissance.html