DIMENSI KAPABILITAS
REGULATIF ERA ORDE BARU
Oleh Kelompok II Ekstensi A
ABSTRAK
Setiap peraturan
itu disusun dan di terapkan kedalam masyarakat untuk mensejahterahkan seluruh
lapisan masyarakat. Peraturan ataupun regulasi tersebut disusun melalui proses hingga
ditetapkan sebagai undang-undang. Undang-undang atau peraturan diterapkan di
masyarakat dan para alat-alat negara memantau bagaimana efektifitas undang-undang
tersebut. Akan tetapi, peraturan yang dibuat dalam undang-undang sering tidak
bisa sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari frekuensi
pelanggaran yang terjadi akan undang-undang pada masa ini. Bukan hanya
masyarakat saja yang melanggarnya. Bahkan para pejabat pemerintah yang ikut
berperan dalam pembuatan dan pelaksana peraturan (UU) ikut melakukan
pelanggaran akan peraturan. Pelanggaran tersebut banyak menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat hingga terjadi konflik di tengah-tengah
masyarakat. Kemampuan
regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku
serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem
politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya
regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas
penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam
laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan
dengan kemampuan ekstraktif
di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
Kata
kunci : Jumlah regulasi yang ada, efektifitasnya, frekuensi pelanggaran dan
konflik.
I. PENDAHULUAN
Pemahaman
kehidupan politik pada saat ini tidak
terlepas dari sistem politik yang Orde Baru yang desposit dan otoririter
(Winarno, 2007 : xiii). Orde Baru itu sendiri secara resmi di defenisikan
sebagai “ tatanan kehidupan negara dan bangsa yang di letakkan kembali pada
pelaksanaan kemurnian pancasila dan UUD 1945”. Masyarakat Orde Baru adalah
masyarakat Indonesia yang bertekat melaksanakan pancasila dan UUD 1945 seaca
murni dan konsekuen. Tujuan Orde Baru adalah menciptakan kehidupan politik,
ekonomi, dan kultural yang di jiwai oleh moral pancasila, khususnya sila
ketuhanan yang maha esa.
Orde
Baru menginginkan suatu tata susunan yang lebih stabil berdasarkan
lembaga-lembaga (institusional misalnya MPRS, DPR, Kabinet dan musyawarah) dan
yang kurang di pengaruhi oleh oknum-oknum yang dapat menimbulkan kultus
individu. Akan tetapi, orde baru tidak menolak pimpinan yang kuat dan
pemerintahan yang kuat malah mengkehendaki ciri-ciri yang demikian dalam masa
pembangunan (Mahfud, 1998 : 200).
Orde
baru mengkehendaki suatu tata politik dan ekonomi yang berlandaskan pancasila,
UUD 1945 dan yang mempunyai prinsip idiil, operasional dalam ketetapan MPRS
IV/1966.Orde baru adalah suatu tata politik dan ekonomi yang belum mempunyai
kenyataan, yang ada baru suatu iklim yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan
Orde Baru ini (Mahfud, 1998 : 201).
Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 (Praptanto, 2010 : 3)
memberikan wewenang penuh kepada Mayjen Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang dinilai penting untuk menjaga kestabilan keamanan dan ketenangan
social guna memperlancar jalanya revolusi. Soeharto membentuk kabinet Ampera
yang diresmikan pada 28 Juli 1966. Seluruh program kerja kabinet Ampera terdapat
dalam catur karya, dengan prinsip dwi dharma. Politik Indonesia makin memanas
dengan tidak disetujuinya pidato pertanggungjawaban Soekarno oleh Majelis
Sidang Umum MPRS. Pidato pertanggungjawaban
yang dikenal dengan nama Nawaksara itu dinilai tidak lengkap karena
tidak menceritakan peristiwa G30S/PKI dan akibat-akibatnya secara detail. Lalu,
pada 22 Oktober 1966, MPRS mengirim nota kepada Presiden Soekarno agar beliau
merevisi dan melengkapi pertanggungjawabanya. Pidato hasil revisi itu kemudian
diberi nama Pelengkap Nawaksara (Pel Nawaksara). Akan tetapi, Pelengkap
Nawaksara itu justru membuat situasi politik bangsa menjadi semakin tegang. Ada
beberapa organisasi massa dan unsur pemerintah yang menolak Pelengkap
Nawaksara.
Sementara
itu pihak ABRI melakukan pendekatan secara personal dengan Presiden Soekarno.
Mereka membujuk agar Presiden Soekarno melakukan penyerahan kekuasaan kepada
Mayjen Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Mayjen Soeharto menerima surat
Presiden Soekarno, di surat ini, dilampirkan surat penegasan untuk menangani
masalah sehari-hari kepada pemegang surat perintah 11 Maret 1966 (Praptanto,
2010 : 1). Mayjen Soeharto membuat sebuah rancangan konsep yang akan di pakai
untuk mempermudah proses penyelesaian krisis politik, konsep itu berisi pernyataan
bahwa Presiden Soekarno berhalangan memimpin pemerintahan dan menyerahkan
tanggungjawab kekuasaan pemerintahan kepada pemegang mandat Surat Perintah 11
Maret 1966, yakni Mayjen Soeharto. Konsep ini diajukan kepada Presiden Soekarno
pada 11 Februari 1967. Ternyata, Presiden soekarno tidak menyetujui rancangan
kosep itu beliau keberatan dengan istilah
“berhalangan”. Tapi pada akhirnya presiden Soekarno menyetujuinya dengan
melakukan perubahan-perubahan kecil, seperti pada pasal 3 yang ditambah dengan
kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi . Hari Rabu sore tanggal 22 Februari
1967, Soeharto memanggil para menteri kabinet Ampera ke kantor Presidium Kabinet.
Tepat pada pukul 19.30 WIB, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran
dirinya sebagai Presiden (Praptanto, 2010 : 3). Presiden secara resmi
menyerahkan jabatan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto. Momentum itulah yang menandakan awalnya masa
pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Diangkatnya
Mayjen Soeharto Menjadi Presiden Republik Indonesia
Melalui
ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, pada 12 Maret 1967, MPRS yang diketuai
oleh A.H. Nasution menvabut seluruh mandat atas seluruh kekuasaan pemerintahan
dari Presiden Soekarno. Pada 27 Maret 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS), mengangkat Letjen Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia (Praptanto, 2010 : 3). Gaya Kepemimpinan
Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif
dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap
peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta
mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah
penyesuaian (http://blogger//model-kepemimpinan-6-presieden-terakhir.html).
Kemudian Presiden Soeharto membentuk
kabinet Ampera. Program kerja dari Kabinet Ampera tercermin dalam Catur Karya,
atau empat program. Program-program tersebut adalah :
- Memperbaiki
perikehidupan rakyat, terutama dalam bidang sandang dan pangan;
- Melaksanakan
pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketatapan MPRS
No.XI/MPRS/1966;
- Melaksanaka
politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966, dan;
- Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya(http://24bit.wordpress.com/2010/03/30/perkembangan-bidang-politik-pada-masa-orde-baru/).
Pemerintahan Orde Baru segera
menyusun rencana untuk mempercepat lancarnya kinerja Kabinet Ampera. Rencana
tersebut adalah :
1.
Mewujudkan kehidupan politik yang
lebih baik.
2.
Kehidupan ekonomi segera distabilkan
dan direhabilitasi.
3.
Menyusun dan melaksanakan rancana
pembangunan.
Dalam bidang politik, salah satu
langkah yang dilakukan oleh Soeharto adalah melakukan fusi partai politik.
Praktik tersebut dilakukan pada tahun 1975, dengan berdasar pada UU No. 3 tahun
1975. Fusi tersebut menghasilkan Kelompok Demokrasi Pembangunan, Kelompok
Persatuan Pembangunan, dan Kelompok Golongan Karya.
Menguatnya Peran Negara Pada Masa Orde Baru dan Dampaknya Terhadap
Kehidupan Sosial-Politik Masyarakat
Pada pemerintahan Orde Baru
struktur,kinerja dan peran negara menjadi sangat kuat karena didukung oleh
pemusatan dan penguatan 3 sektor utama,yaitu sektor militer,ekonomi dan budaya.
Menurut pak Harto penguatan negara merupakan langkah yang jitu dalam mendukung
kelancaran pembangunan, adapun cara yang dilakukan meliputi :
1.
Penguatan sektor militer, dilakukan
dengan cara memperbaiki kinerja 'Angkatan Darat'. Latar Belakang karir pak
Harto sebagai Mayor Jenderal membuat beliau mendapat dukungan dari basis
militer yang cukup kuat.
2.
Penguatan sektor ekonomi, dilakukan
dengan cara menambah jumlah dana bantuan luar negeri, karena sistem ekonomi
gagas adalah ekonomi liberal maka mendapat dukungan dari dunia internasional.
3.
Penguatan sektor budaya dilakukan
dengan cara menyebarkan organisasi-organisasi membantu GolKar ke pelosok. Hal
ini sangat membantu karena GolKar yang sejak tahun 1964 sudah muncul itu
memiliki posisi yang sangat penting. Pada waktu itu tidak boleh ada organisasi
masyarakat selain yang bernaung dibawah organisasi GolKar.
Dampak menguatnya peran negara
dimasa Orde Baru adalah terjadi penggabungan partai-partai politik dalam 3
organisasi berikut :
1.
PDI gabungan dari PNI, PARKINDO, P
Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
2.
PPP, gabungan dari NU, Partai Muslim
Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan
Tarbiyah Indonesia.
Partai
Golkar, gabungan dari berbagai organisasi profesi, seperti Organisasi Buruh,
Organisasi Pemuda, Organisasi Petani dan Nelayan, Organisasi Seniman, dan
Organisasi Masyarakat (http://blogger //sejarah-orde-baru-dan-orde-reformasi.html)
Sebelum
terjadinya fusi partai-partai tersebut, Golkar sudah memperoleh kemenangan
mutlak pada Pemilu 1971 dengan perolehan 236 suara dikursi DPR (Praptanto, 2010
: 10). Kemenangan itu menghasilkan 2 hal utama :
1.
Adanya monoloyalitas PNS yang
menjadi penyumbang suara terbesar pada waktu itu, semua PNS harus memilih
Golkar (Praptanto, 2010 : 12).
2.
Kekuatan Golkar telah mengakar kuat
dihati masyarakat karena Sekber Golkar bersama militer dan masyarakat berhasil
menumpas PKI diawal 1960-an.
Menguatnya
posisi Golkar di masa pemerintahan Orde Baru menunjukkan kuatnya peran
pemerintah dalam menentukan perkembangan kehidupan masyarakat. Seiring dengan
itu, Pancasila menjadi satu-satunya asas yang boleh digunakan oleh seluruh
pergerakan nasional baik dalam parpol, gerakan mahasiswa maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat. Segala jenis pergerakan nasional tidak boleh melenceng dari
garis-garis besar Pancasila. Prinsip itu di politisir bahwa tidak boleh ada
bentuk kegiatan lain selain yang berada dibawah kekuasaan organisasi Golkar.
Dan kepemimpinan dalam Golkar sendiri terpusat pada figur Soeharto.
Kericuhan
dalam pembahasan RUU-RUU lagi yang mengantarkan penundaan pemilu (yang
seharusnya di selenggarakan 1968) itu di sertai emaskulasi yang sistematis terhadap partai-partai kuat yang akan
bertarung dalam pemilu. Pengebiriaan sejalan dengan sikap ABRI yang menyetujui
penyelenggaraan pemilu, tetapi dengan jaminan bahwa : “Kekuatan Orde Baru harus
menang”. Artinya, karena secara konstitusional pwmerintah tak bisa mengelak,
maka pemilu harus tetap di laksanakan tetapi kekuatan orde baru harus menang.
Kekuatan orde baru disini lebih di identikkan sebagai pemerintah dan ABRI serta
Golkar. Sebenarnya partai-partai yang ada pada waktu itu berhak juga disebut
sebagai kekuatan orde baru karena mereka juga ikut mengembangkan orde lama.
Karena itu, di samping menggarap UU pemilu yang dapat memberikan jaminan atas
dominasi kekuatan pemerintah, maka partai-partai yang di perhitungkan mendapat
dukungan dari pemilih mulai di lemahkan (Mahfud, 1998 :218-219). Pada
pemilu 1971 Golkar tampil sebagai pemnang mayoritas mutlak dengan meraih 62,8 %
suara mekipun semula hanya mematok target 35%-40%. Setelah format politik yang
di design melalui UU No. 15 dan 16 tahun 1969, maka kemenangan Golkar dalam
pemilu 1971 telah memantapkan dominasi pemerintah atas semua spectrum dan
proses politik di Indonesia. Dan sejak itu pula langgam otoriter pemerintah
Orde baru semakin menegaskan dirinya. Alfian menulis bahwa “ semenjak tu kita
melihat terjadinya proses pertumbuhan sebuah kekuasaan eksekutif yang kuat di
bawah pimpinan soeharto sendiri bersamaan dengn proses pengukuhan posisi
militer beserta Golkar” (Mahfud, 1998 : 222-223).
Menguatnya
peran negara di masa Orde Baru juga tidak terlepas dari strategi agresi yang
diterapkan oleh Soeharto. Salah satu strateginy adalah sistem reward and
punishment, yakni pemberian hadiah bagi orang-orang yang pro terhadap pak Harto
dan hukuman bagi pihak-pihak yang kontra terhadap pak Harto. Sekurang-kurangnya
terdapat 4 sumber-sumber yang menjadi penopang Kekuasaan Orde Baru yakni :
1.
Represi Politik. Sejak
Orde Baru melakukan konsolidasi politik pada awal 1970-an, tindakan kekerasan
dan represif merupakan instrumen utama yang dipakai oleh pemerintah untuk
mencapai stabilitas politik.
2.
Klienteisme Ekonomi.
Dengan sumber inilah Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan elit dan
masyarakat luas.
3.
Wacana Partikularistik.
Orde Baru mengembangkan banyak wacana partikularistik yang di orientasikan untuk memaparkan orde
baru.
4.
Korporotisme negara.
Korporotisme negara dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diarahkan
sebagai mobilisasi massa (Winarno, 2007 : 35-36).
Pemerintah Orde Baru banyak melakukan langkah politik
penertipan untuk menjaga kestabilan
pemerintahannya. Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari pada 15 Januari 1974
mengungkap reaksi mahasiswa dan masyarakat terhadap langkah politik penertipan
tersebut (Praptanto, 2010 : 15). Pada Peristiwa Malari tersebut, 3 orang
mahasiswa ditangkap oleh aparat dan diadili pada 2 Agustus 1947. Mereka adalah
Hariman Siregar, Sjahrir, dan Muhammad Aini Chalid.
Selain itu, semua jenis kegiatan
yang beraroma KKN, sebenarnya sudah terlihat sejak 1971seperti pada kasus Taman Mini yang berbau
pelanggaran HAM dan kasus Pertamina pada tahun 1974-1975. Sejak itu hampir di
seluruh bidang bisnis ditemukan
penyimpangan, baik fasilitas maupun kewenangan dan monopoli. Misalnya, adanya
kewajiban suatu instansi Pemerintah
untuk membeli “produk” swasta tertentu; munculnya fenomena saham kosong sebagai
imbalan(succes fee), seperti dalam
bisnis pipa gas, media massa, perbankan dan peti kemas. Sebagai contoh konkret,
dari 138 perusahaan swasta yang menjadi rekanan Pertamina, diindikasikan 126
(90%) beraroma KKN milik keluarga Soeharto (Praptanto, 2010 : 67).
Dari peristiwa yang terjadi pada
masa Orde Baru tersebut, sangatlah banyak penyimpangan dari peraturan-peraturan
yang telah di buat. Jadi yang akan di jelaskan dalam pembahasan adalah Jumlah
regulasi yang ada, efektifitasnya, frekuensi pelanggaran dan konflik pada era
Orde Baru.
II. PEMBAHASAN
Sistem
politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal ini dipengaruhi oleh
elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah dalam
perpolitikan di suatu negara. Pengaruh sistem politik negara lain juga turut
memberi kontribusi pada pembentukan sistem politik disuatu negara. Seperti
halnya sistem politik di Indonesia, seiring dengan waktu, sistem politik di
Indonesia selalu mengalami perubahan. Indonesia merupakan bagian dari sistem
politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem
politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas. Hal ini sesuai dengan
lingkungan sistem politik yang hidup dalam suatu lingkungan bersama-saa dengan
soistem-sistem lainnya dan mengadakan hubungan saling mempengaruhi diantara
sistem tersebut (Halking, 2013 : 31). Struktur kelembagaan atau institusi khas
Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga
melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian,
kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan
positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Kehidupan politik yang dilihat sebuah sistem dari suatu kegiatan dimana
kegiatan tersebut saling berhubungan untuk menerapkan asumsi implisit kesaling
hubungan bagian-bagian tersebut sebagai pangkal tolak berpikir dalam
melaksanakan suatu penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai
suatu sistem kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan. Suatu sistem politik
tidak hidup dalam suatu ruang hampa dan senantiasa hidup dalam suatu lingkungan
tertentu. Lingkungan ini dapat dibedakan menjadi lingkungan domestik dan
internasional. Salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya
untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti organisme atau individu.
Pemahaman tentang struktur dan budaya politik memegang peran penting dalam
memahami kerangka kerja sistem politik. Sistem politik memerlukan badan-badan
atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen,
birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau
fungsi-fungsi tertentu. Dalam suatu sistem politik, biasanya, terdapat fungsi
yang hampir selalu ada, fungsi tersebut adalah kapabilitas atau kemampuan
system politik. Proses politik mengisyaratkan
harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem
untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam
menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.
Kemampuan regulatif
adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan
antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks
kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi
(undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena
undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di
dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan
dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan
regulasi.
Kemampuan regulatif menunjukkan kemampuan dari sistem politik dalam hal
mengontrol atau mengendalikan perilaku individu-individu atau kelompok yang
berada dalam sistem politik itu. Kemampuan ini dapat di lihat dari frekuensi
dan intensitas kontrol yang dilakukan oleh sistem politik itu sendiri. Kemampuan
regulatif mempersoalkan bagaimana menempatkan kekuasaan yang absah (pemerintah)
untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lain yang ada di
dalamnya,semua merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur dan mengendalikan
(Rahman 2012 : 17)
Ahli
politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi
liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral.
Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat
prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan
dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional (http://24bit.wordpress.com/2011/05/16/kehidupan-politik-yang-membosankan-363313.html/).
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah
subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat
keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif
terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara
elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa
dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang
ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau
institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara
sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan
partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu
sistem politik.
Dengan
merubah sudut pandang maka sistem politik bisa
dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku
politik. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan
(input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi
keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan
maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan
dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan
kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem
politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun
dengan mengingat Machiavelli maka
tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk
mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan
antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
PENDEKATAN DALAM ANALISIS
SISTEM POLITIK
Analisis Sistem Politik
Menurut David Easton
Kehidupan
politik sebagai suatu sistem kegiatan maka timbul beberapa konsekuensi dalam
hal cara yang dapat kita gunakan untuk menganalisa berjalannya suatu sistem.
Idea utama tentang suatu sistem bahwa kita dapat menyatakan bahwa kita dapat
memisahkan dari kehidupan politik dan kehidupan sosial lainnya, paling tidak
demi tujuan analisa dan melihatnya seolah-olah sebagai suatu kumpulan
tersendiri yang dikelilingi, tetapi dapat di bedakan dari lingkungan ia
bekerja. Apabila kita berpegang terhadap anggapan bahwa sistem tingkah laku
politik suatu unit tersendiri, maka terlihat bahwa yang menjamin terus
bekerjanya sistem itu adalah berbagai macam input. Input-input ini di ubah oleh
proses-proses yang terjadi dalam proses yang terjadi dalam sistem itu menjadi
output dan selanjutnya output ini menimbulkan pengaruh terhadap sistem itu
sendiri maupun terhadap lingkungan dimana sistem itu berada. Rumusan ini sangat
sederhana tetapi juga cukup memadai untuk mejelaskan berbagai hal :
input-sistem atau proses politik-output (Mas’oed, 2001 : 4-5).
Perbedaan
sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara
sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi
sistem yang lain. Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja
antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem
politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.
Input, Output, dan Lingkungan
dalam Sistem Politik
Input
dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input
yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai
sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai
(masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik.
Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini.
Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan
negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan
membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan
memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme
dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan
mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan.
Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun
pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri.
Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem
politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan
dalam (intra societal) dan lingkungan
luar (extra societal).
Setidaknya
ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan
bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan
secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral
karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan
kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.
Pendekatan Struktural
Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan
struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik,
pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam
sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari
peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah
sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka
yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat
ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik
memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik.
Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input
dan output.
Terkait
dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah
ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan
perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian
yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya.
Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi
atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung
bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana
institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik
tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond
menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas
ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas
simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.
Politik Birokratis
Karl
D. Jackson menyebut karakteristik politik orde baru yang menempatkan negara
pada posisi sangat dominan sebagai bureaucraeic
polity (politik birokratis). Dalam model ini, kekuasaan dan partisipasi
politik dalam pembuatan keputsan terbatas pada para penguasa terutama pada para
perwira militer dan pejabat tinggi brokrasi. Rezim penguasa tunggal yang dipegang
satu orang karena legitimasi tradisional, dalam politik birokratis
keputusan-keputusan yang harus di dukung oleh minimal consensus di kalanan elit
militer dan birokrasi. Model ini juga berbeda dari pemerintah militer karena
gaya dan tujuan dasar pemerintah lebih bersifat birokratik dan teknokratik
daripada militeristik. Model ini bisa dipahami untuk menerangkan Orde Baru,
terutama dalam kaitannya dengan terciptanya stabilitas politik. Ada 3 ciri
utama dari polititk birokratis yaitu: pertama, lembaga politik didominasi oleh
birokrasi. Kedua, lembaga politik lain seperti parlemen, parpol, dan interest
group berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau
mengontrol kekuasaan birokrasi. Tiga, massa diluar birokrasi secara politik
adalah pasif. Dalam poitik birokratis (bureacratism,bureaucratic polity)
birokrasi lebih prevalen daripada kekuatan-kekuatan non birokrasi. Atau
birokrasi lebih cenderung kurang sensitive terhadap rangsangan-rangsangan
determinan non birokratik dari perilaku non brokrasi. Para pengamat banyak
mengategorikan sistem pemerintahan di Indonesia sebagai bureaucratic polity,
dalam arti birokrasi terlalu kuat untuk dapat menerima kontrol sosial dari
kekuatan-kekuatan non birokrasi.Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan,di
hadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik
yang modern yang di dukung oleh birokrasi sebagai kekuatan utama.Dengan
dihadapkan pada masalah pembinaan karakter bangsa dan negara,usaha membangun
dan membina sistem politik termasuk birokrasi menjadi terbengkalai (Rahman 2002
: 135). Jackson mengatakan suasana politik dalam bureaucratic polity bersifat
menentukan diri dan otonomi vis-Ã -vis lingkungan domestik. Tulisnya tentang
ini: “ seperti kepulauan yang terpisah dari lautan sosial disekitarnya, politik
birokratis sulit ditembus oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat mereka
sendiri dan mungkin lebih responsif terhadap tekanan-tekanan yang berasal dari
arena internasional”.
Analisis Struktural
Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut
Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga
politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif,
birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap
sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem
politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak
terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman
yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat
dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif,
legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan
yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan
suatu kebijakan.
Input
yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan
menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya
melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor
politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi
input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi
output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman
kebijakan (http://24bit.wordpress.com/2010/12/07/Sistem-politik-indonesia/).
Rezim
orde baru ini secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum,
mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin
kelangsungan kekuasaannya. Bagaimana tidak pada masa rezim ini kolusi, korupsi
dan nepotisme berkecambuk di tubuh pemerintah. Rezim orde baru telah menjadikan
hukum sebagai baju besi untuk mempertahankan kekuasaannya, melaksanakan
dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga
negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Undang-undang
Dasar sebagai dasar penegakan hukum di negara ini dimanfaatkan untuk
mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun lamanya. Seperti yang diketahui tidak
spesifiknya isi dari pasal-pasal pada UUD telah menimbulkan multitafsir, dengan
sigapnya rezim orde baru berpayung dibawah kemultitafsiran itu. Pada masa orde
baru yang berlaku bukan lagi rule of law,
yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi
hak-hak sosial dan politik warga negaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik
yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala
peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim
demi kekokohan dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti keadilan dan
anti HAM (http://24bit.wordpress.com/2012/02/07/perkembangan-dan-persoalan-rule-of-law-dalam-segala-bidang-(rule-of-law-indonesia)/).
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde
Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Perlu kita
ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat
memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan
Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Perkembangan
dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru “membekukan” pelaksanaan UU Pokok Agraria,
dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal
asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing,
UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1)
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum;
Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum
Nasional.
Jumlah regulasi
ataupun peraturan yang di terapkan pada
masyarakat sangatlah banyak. Peraturan-peraturan terebut diharapkan dapat
menciptakan kepuasan dan mencapai titik kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
visi misi Orde Baru tersebut.
Hal ini ditunjukkan banyaknya Undang-undang yang di berlakukan di dalam
masyarakat. Akan tetapi efektifitas regulasi tersebut mengalami kelemahan. Hal
ini di akibatkan banyaknya frekuensi pelanggaran yang terjadi pada saat itu.
Frekuensi pelanggaran terebut menjadi alasan menjadi penopang pada masa Orde Baru yang di gunakan oleh Soeharto
yakni Represi Politik. Selain itu, moral hazard, yaitu persoalan birokrasi
pemerintahan yang di kuasai Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme juga sangat
merajalela pada masa ini. Bagaikan jamur yang hidup pada masa penghujan.
Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa
Orde Baru
Berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa pemerintahan order baru.
Pelanggaran tersebut antara lain:
Tahun
|
Pelanggaran
HAM yang Terjadi
|
1965
|
- Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh
Jendral Angkatan Darat.
- Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa
pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis
Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian
ini.
|
1966
|
- Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan
terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak
di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
- Dr. Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku
Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
- Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada
bulan Desember.
|
1967
|
- Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh
pemerintah.
- April, gereja- gereja diserang di Aceh,
berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .
- Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
|
1969
|
- Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan
tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .
- Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
- Tidak menyeluruhnya proses referendum yang
diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang
mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh
rakyat Papua.
- Dikembangkannya peraturan- peraturan yang
membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk
partai politik.
|
1970
|
- Pelarangan demo mahasiswa.
- Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada
Golkar.
- Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
- Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
|
1971
|
- Usaha peleburan partai- partai.
- Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta
kampanye berat sebelah dari Golkar.
- Pembangunan Taman Mini yang disertai
penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
- Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di
Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah
dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning
sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
|
1972
|
- Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan
Lampung.
|
1973
|
- Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .
|
1974
|
- Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat
akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh
pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
- Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara
lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
|
1975
|
- Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
- Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing
secara misterius.
|
1977
|
- Tuduhan subversi terhadap Suwito.
- Kasus tanah Siria- ria.
- Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di
pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan
polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
- Kasus subversi komando Jihad.
|
1978
|
- Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf
Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
- Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut
koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan,
antara lain Heri Ahmadi.
- Pembredelan tujuh surat kabar, antara lain
Kompas, yang memberitakan peristiwa di atas.
|
1980
|
- Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari.
Kekerasan menyebar ke Semarang , Pekalongan dan Kudus.
- Penekanan terhadap para penandatangan Petisi
50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri
|
1981
|
- Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda
Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam
peristiwa ini.
|
1982
|
- Kasus Tanah Rawa Bilal.
- Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek
wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di
sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
- Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena
memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye
pemilu di Jakarta . Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP,
dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
|
1983
|
- Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat
kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
- Pelanggaran gencatan senjata di tim- tim oleh
ABRI.
|
1984
|
- Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
- Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
- Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
- Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
|
1985
|
- Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam
terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
|
1986
|
- Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di
Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses
senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
- Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak
dari Jakarta.
- Kasus subversi terhadap Sanusi.
- Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI
|
1989
|
- Kasus tanah Kedung Ombo.
- Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
- Kasus tanah Kemayoran.
- Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI.
Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari.
- Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di
Bima.
- Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap
publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur
intelijen dan ABRI.
|
1991
|
·
Pembantaian di pemakaman Santa
Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-pemuda Timor yang mengikuti
prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal
|
1992
|
- Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan
cengkeh oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.
- Penangkapan Xanana Gusmao.
|
1993
|
- Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh
perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.
|
1994
|
- Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga
sehubungan dengan pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
|
1995
|
- Kasus Tanah Koja.
- Kerusuhan di Flores
|
1996
|
- Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa
ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26
Desember 19962. Kasus tanah Balongan.
- Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik
kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
- Sengketa tanah Manis Mata.
- Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban
jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah
mereka.
- Kasus penahanan dengan tuduhan subversi
terhadap Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden
terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.
- Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
- Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung
PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
- Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
|
1997
|
- Kasus tanah Kemayoran.
- Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku
Dukun Santet di Jawa Timur.
|
1998
|
- Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat
keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan
diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
- Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti
di jakarta , dua hari sebelum kerusuhan Mei.3. Pembunuhan terhadap
beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa
ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi
Semanggi I (http://blogger //Pelaksanaan Hukum Dan Pelanggaran HAM Pada
Masa Orde Baru _ The Rainaissance.html).
|
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kapabilitas
regulatif pemerintah selama masa Orde Baru ditunjukkan dengan pembentukan
aparat/lembaga yang bertugas menjaga stabilitas seperti Bakin, Kopkamtib, Opsus
dan Dirjensospol. Selain itu, juga dikeluarkan kebijakan depolitisasi,
pengebirian dan restrukturisasi partai-partai politik sehingga tercipta the hegemonic party system. Secara
material penyaluran tuntutan lebih banyak dikendalikan oleh koalisi besar ABRI,
Birokrasi dan Golkar (ABG) yang pada hakikatnya berintikan teknokrat dan
perwira-perwira yang telah mengenal teknologi modern. Penyaluran tuntutan/input
sebagai bagian dari partisipasi politik dilakukan dengan gaya pragmatis dengan
menggunakan kemampuan perlindungan militer. Partisipasi politik hanya terbatas
pada peristiwa-peristiwa politik tertentu, seperti pemilu. Hal ini karena
diberlakukannya konsep massa mengambang. Partisipasi politik rakyat dalam
keanggotaan kekuatan sosial politik pada periode ini lebih diarahkan ke
pembentukan kelompok-kelompok profesional.
Jumlah regulasi
ataupun peraturan yang di terapkan pada
masyarakat sangatlah banyak. Peraturan-peraturan terebut diharapkan dapat
menciptakan kepuasan dan mencapai titik kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
visi misi Orde Baru tersebut.
Hal ini ditunjukkan banyaknya Undang-undang yang di berlakukan di dalam
masyarakat. Akan tetapi efektifitas regulasi tersebut mengalami kelemahan. Hal
ini di akibatkan banyaknya frekuensi pelanggaran yang terjadi pada saat itu.
Frekuensi pelanggaran terebut menjadi alasan menjadi penopang pada masa Orde Baru yang di gunakan oleh Soeharto
yakni Represi Politik. Selain itu, moral hazard, yaitu persoalan birokrasi
pemerintahan yang di kuasai Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme juga sangat
merajalela pada masa ini. Bagaikan jamur yang hidup pada masa penghujan.
Pembangunan
lima tahun merupakan (Rule of Law)
pada tahun 1969 merujuk kepada paragraph Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa
Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang
berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat. Proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan
fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan
normative dan ligitigatif. Dengan kombinasi dari keduannya dengan kodifikasi
dan unifikasi hukum nasional yang terbatas secara selektif pada hukum yang
tidak menjamah tanah kehidupan budaya dan spiritual rakyat, yang menjadi
program Badan Pembinaan Hukum Nasional.
B.
Saran
Dari
pembahasan dalam artikel ini kita telah mengetahui hal baik dan hal buruk
sistem politik Indonesia pada saat Era Orde Baru. Sistem Politik Indonesia pada
saat ini sebaiknya mengikuti hal positif yang dapat di kembangkan untuk
memajukan stabilitas ataupun sistem politik Indonesia dan jangan meninggalkan
tradisi-tradisi buruk yang terjadi pada masa Orde Baru tersebut seperti KKN,
Pelanggaran HAM dan sebagainya yang dapat merugikan dan menyengsarakan
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Halking, dan Budi Ali Mukmin. 2013.
Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia.
Medan : Universitas Negeri Medan.
Mas’oed, Mohtar. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
MD,
Mahfud. 1998. Politik Hukum di Indonesia.
Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
Praptanto, Eko. 2010. Sejarah Indonesia Zaman Orde Baru. Jakarta
: PT Bina Sumber Daya MIPA.
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta
: Media Pressindo.
Rahman, Arifin. 2012. Sistem Politik Indonesia. Surabaya :
Penerbit SIC.
Alamat Web
http://blogger
//sejarah-orde-baru-dan-orde-reformasi.html
http://blogger //Pelaksanaan Hukum Dan
Pelanggaran HAM Pada Masa Orde Baru _ The Rainaissance.html